Indonesia mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika yang artinya, “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Semboyan tersebut menggambarkan persatuan dan kesatuan  negara Indonesia karena terdiri dari berbagai macam suku, budaya, dan agama.

Nah, di pulau Lombok ada tradisi menarik nih, namanya Perang Topat. Lah kok perang dijadikan simbol perdamaian? Bukannya perang identik dengan perpecah belahan ya? Iya, kali ini bukan perang untuk menciptakan konflik, tapi untuk perdamaian. Sudah penasaran belum? Oke baik, mari kita cus ~

Tradisi ini merupakan simbol perdamaian antara umat hindu dan islam. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun di kompleks Pura Lingsar, Kabupaten Lombok Barat pada bulan purnama Sasih ke Pituq menurut kalender Sasak atau jatuh sekitar bulan November dan Desember. Dan dilakukan setelah Pedande Mapuje yaitu, pada waktu sore hari ketika roroq kembang waru atau disaat bergugurannya kembang waru.

Sebelum tradisi ini dilakukan, umat islam dan hindu melakukan upacara persembahyangan di tempat pemujaan masing-masing. Setelah itu, barulah mereka saling melempar ketupat secara bersamaan.  Kemudian peserta perang topat mengambil dan membawa pulang ketupat karena mereka meyakini ketupat tersebut membawa keberkahan dan kesuburan untuk sawah maupun tanaman.

Selain sebagai simbol perdamaian antar umat hindu dan islam, tradisi ini juga sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan karena telah diberikan karunia berupa air hujan dan kesuburan tanah.

Sejarah awal mula adanya tradisi perang topat adalah datangnya seorang wali dari Demak- Jawa Tengah bernama Raden Sumilir. Pada saat itu, kedatangannya untuk menyebarkan agama islam bersamaan dengan datangnya orang hindu dari Bali untuk menyebarkan agama hindu di Lingsar. Dalam situasi yang mengarah ke konflik, muncul ide dari para sesepuh muslim maupun hindu untuk mengubah potensi konflik ke dalam perang topat. Sehingga sampai sekarang, perang topat menjadi tradisi turun temurun masyarakat di Lingsar.